Peran Penting Perempuan dalam Gerakan Sosial Agroekologi
Praktik Agroekologi merupakan inisiatif dalam model pertanian berkelanjutan. Dalam Agroekologi, prinsip-prinsip ekologis dimasukan dalam kegiatan pertanian konvesional, mulai dari tahap perancanaan, pengolahan lahan, penyiapan bibit, perawatan, bahkan sampai pemanenan. Agroekologi dapat diartikan juga sebagai serangkaian gerakan sosial yang merujuk kepada budaya dan pengetahuan lokal sehingga dapat memperkuat modal sosial. Layaknya sebuah gerakan sosial, tentu semua elemen sosial terlibat didalamnya, termasuk perempuan. Sayangnya, dalam agroekologi, peran penting perempuan belum terlalu diangkat padahal bukti bahwa perempuan memiliki peran strategis dalam gerakan sosial cukup banyak. Tulisan ini ingin menyorot kegiatan perempuan dalam kegiatan agroekologi di lahan gambut melalui pembentukan kelompok-kelompok di tingkat desa.
Pada kenyataannya, praktik-praktik pertanian sangat dekat dengan kehidupan perempuan sehari-hari. Beberapa kelompok perempuan di desa mampu melakukan kegiatan pertanian dalam lingkup kecil. Pertanian dalam lingkup kecil yang dimaksud adalah memanfaatkan perkarangan rumah dengan menanam sayur-sayuran, tanaman obat keluarga, dan buah-buahan. Lebih jauh lagi, pengetahuan perempuan mengenai pertanian diperkuat dengan kemampuan mengelola bahan pangan sehingga secara langsung dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Sayangnya, praktik yang selama ini dilakukan masih menggunakan cara konvensional, misal dengan membakar lahan dan menggunakan pupuk kimia. Tentu hal ini tidak sejalan dengan prinsip-prinsip agroeklogi. Dalam konteks di atas, maka pengenalan prinsip agroekologi kepada para perempuan rumah tangga menjadi sangat relevan.
Insiatif program pertanian agroekologi diterapkan dalam lima kelompok perempuan pada lima desa. Setiap kelompok perempuan yang dibentuk terdiri dari 10 orang yang kemudian disebut KWT (Kelompok Wanita Tani). Adapun lima desa tersebut merupakan dampingan Yayasan Puter Indonesia dalam Program Kelola Sendang (Kemitraan Pengelolaan Lanskap Sembilang dan Dangku). Bentuk kegiatan agroekologi yang dilakukan pada kelompok perempuan mulai dari perencanaan, pengelolaan lahan pekarangan, pemilihan tanaman, perawatan, dan pemanen. Alasan pemilihan perkarangan adalah agar anggota KWT yang terlibat dapat leluasa mengatur waktu disela-sela pekerjaan rumah tangga lain. Selain itu, pekarangan rumah merupakan bagian dari sumber daya dalam bentang alam desa yang selama ini sering terlupakan pemanfaatannya.
Proses pemindahan bibit sawi ke lahan yang telah disiapkan oleh anggota KWT. (Sumber Foto: Yayasan Puter Indonesia)
Dalam prosesnya, KWT diberikan pedampingan teknis dalam melaksanakan pertanian agroekologis, seperti penyiapan lahan, pembuatan pupuk organik, pestisida organik, dan herbisida organik. Selain praktek pertanian, peningkatan kapasitas KWT juga diberikan dalam bentuk pelatihan managemen kebun, perencanaan penanaman, hingga pembagian tugas pada pemanenan yang terorganisir. Pengetahuan baru ini menjadi tantangan sekaligus peluang tersendiri bagi kelompok perempuan untuk pengembangan diri. Komitmen dan ketekunan anggota KWT untuk mempelajari dan mencari pemahaman lebih lanjut merupakan salah satu keberhasilan program ini. Kemandirian anggota KWT terlihat dengan dapat menyelesaikan beberapa persoalan yang muncul pada saat penerapan prinsip-prinsip agroekologi. Beberapa permasalahan yang muncul seperti pertumbuhan yang lambat, kurangnya ketersediaan bahan organik (biopestisida), dan juga persoalan konflik dengan pekerjaan rumah tangga. Namun kemudian anggota KWT dapat menyepakati solusi-solusi atas permasalahan yang ada, misal penggunaan sekam padi dan sampah dapur serta dedaunan di perkarangan sebagai pengganti dalam pembuatan pupuk kompos yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama dan pertumbuhan tanaman.
Dinamika dalam pengambilan keputusan di KWT pun menarik dimana mereka lebih cepat menghasilkan kesepakatan untuk kepentingan lebih besar. Jika terdapat perbedaan pendapat maka kelompok mencari solusi dengan melakukan musyawarah yang didasari oleh sikap saling pengertian. Sebagai contoh pembagian kerja kelompok yang disepakati dengan sistem penjadwalan (bergiliran bertugas untuk merawat kebun). Penjadwalan merupakan cara yang efektif untuk menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab dari masing masing anggota untuk mengelola kebun. Anggota KWT merasakan bahwa proses perencanaan bersama selain membangun kerekatan hubungan sesama anggota juga membantu mereka dalam praktik pertanian agroekologi dengan lebih baik.
Keberhasilan KWT dalam mengelola pertanian agroekologi telah mendapatkan dukungan dari pemerintah maupun pihak lain berupa penyediaan lahan yang lebih luas dan pendanaan. Tentu hal ini merupakan dampak positif terhadap keberlanjutan program agroekologi. Tentu pertanian agroekologi ini membutuhkan waktu untuk memberikan manfaat yang lebih besar berupa peningkatan ekonomi dan pemanfaatan lahan secara berkelanjutan serta lahirnya kelompok-kelompok KWT baru dalam lingkup desa.
Anggota KWT sedang memetik hasil panen sayur kangkung dari kebun pekarangan. (Sumber Foto: Yayasan Puter Indonesia)
Jelas sudah bahwa perempuan memiliki peran strategis dalam pelaksanaan pembangunan pertanian berkelanjutan melalui konsep agroekologi. Setidaknya pada tingkat kelompok. Modal sosial yang kuat pada tingkat kelompok KWT dapat menular kepada penguatan modal sosial di tingkat komunitas atau desa. Selain itu, pemanfaatan lahan pekarangan dalam gerakan sosial agroekologi mampu menghasilkan komoditas pertanian berupa sayur-sayuran organik yang mana akan mendukung ketahanan pangan keluarga. Lebih jauh, hasil panen ini dapat mengurangi pengeluaran biaya rumah tangga keluarga. Model-model gerakan sosial agroekologi melalui KWT ini akan dapat lebih meluas jika ada dukungan dari pemerintah dan pihak lain terutama dalam hal pendampingan, pelatihan, dan modal kerja awal.
Penulis
Ayuk Priyatin
Community Organizer (CO), Yayasan Puter Indonesia