Mampukah kita mencegah kebakaran hutan dan lahan ditengah badai pandemi COVID-19 ini?
Saat ini kita sedang memasuki masa transisi dari musim penghujan menuju musim kemarau. Seperti sudah menjadi pola yang rutin dimana saat musim kemarau selalu cenderung dihubungkan dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Berdasarkan pengalaman langsung di lapangan sangat sulit memadamkan karhutla, apalagi jika terjadi di lahan gambut. Usaha berbulan-bulan untuk memadamkan api di lahan gambut yang menghabiskan biaya miliaran rupiah dan bahkan korban jiwa nyaris seperti tanpa hasil. Kebakaran dapat dipadamkan hampir selalu setelah datang musim penghujan setelah mengakibatkan kerugian yang besar. Sebagai ilustrasi saja, pada tahun 2019, luas lahan terbakar menurut data kehutanan adalah 1.6 juta hektar. Itu baru kerugian dari luasan lahan terbakar, belum lagi kerugian dari kehilangan kebun-kebun dan rumah, kerugian dari aktivitas perkekonomian, dan tentu kesehatan. BNPB bahkan melaporkan bahwa kerugian Kahutla tahun 2019 diperkirakan sebesar 66,3 triliun (https://nasional.okezone.com/read/2019/09/23/337/2108304/bnpb-prediksi-kerugian-karhutla-2019-capai-rp66-3-triliun). Kejadian Karhutla pada tahun 2019 terjadi manakala kita tidak sedang dalam tekanan pandemi covid-19. Nah, bagaimana tahun 2020 ini dimana pada saat bersamaan kita pun sedang sangat dipusingkan dengan persoalan pandemic covid-19 yang menurut para ahli puncaknya akan berada pada Bulan Juni 2020. Pertanyaannya apakah kita bisa menangani kebakaran hutan dan lahan di tahun 2020 ini?.
Menurut data titik panas dengan tingkat kepercayaan 80% yang dirilis dalam laman situs KLHK (http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran), selama Bulan April 2020 saja sudah ada 142 hotspot (titik panas) di lapangan dan luasan lahan terbakar mencapai 8.253 hektar seluruh Indonesia sejak Januari 2020. Padahal saat ini belum memasuki bulan-bulan terpanas pada musim kemarau yang biasanya jatuh pada Bulan Agustus-September setiap tahunnya di Indonesia. Artinya, potensi bertambahnya titik panas yang berujung kepada karhutla sangat besar. Apalagi saat ini masyarakat secara luas, khususnya yang bekerja di sektor informal sangat tertekan perekonomiannya. Terjadi penurunan daya beli masyarakat di berbagai sektor. Saat ini, sektor pertanian dan perkebunan nampaknya masih bisa bertahan namun bukan tidak mungkin akan turut terperosok juga jika daya beli masyarakat terus menurun. Sektor ini akan berpotensi kehilangan keuntungan bahkan merugi. Dengan kondisi demikian, dapat diduga bahwa para pengusaha sektor perkebunan dan pertanian akan mencari cara yang termurah untuk melakukan pembukaan lahan agar tetap berproduksi. Membakar lahan dapat dikatakan merupakan cara termurah melakukan pembukaan lahan. Artinya bukan tidak mungkin bahwa potensi kejadian karhutla akan semakin tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
Bagaimana pemerintah mengantipasi hal ini ditengah kesulitan yang menghadapi pandemi Covid-19?. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya, memadamkan karhutla sangat sulit luar biasa walau dalam keadaan normal. Apalagi dalam keadaan sekarang, tentu akan jauh sulit dipadamkan. Bukan karena apinya lebih besar atau cuaca lebih kering, namun sumber daya kita yang mungkin sudah tergerus oleh usaha pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19 ini. Bukan tidak mungkin bahwa alokasi anggaran untuk melakukan usaha pemadaman telah jauh berkurang dan juga tenaga-tenaga relawan yang sudah kelelahan menghadapi covid-19. Artinya menangani karhutla dengan menitikberatkan pada upaya pemadaman bukanlah sebuah pilihan tepat. Bisa dikatakan jika terjadi karhutla seperti tahun 2019 kita tidak akan mampu melakukan pemadaman. Akhirnya kita semua akan rugi dua kali secara berturut-turut, pertama karena pandemi covid-19, kemudian kedua karena kebakaran hutan dan lahan. Ini bisa berpotensi kepada krisis berkepanjangan.
Tidak ada pilihan lain untuk menghadapi musim kemarau 2020 selain melakukan pencegahan Karhutla. Tindakan pencegahan yang tidak sekedar slogan namun sebuah aksi pencegahan yang berujung pada hasil maksimal. Tidak ada kejadian kebakaran. Tentu ini bukan sebuah tindakan pencegahan yang hanya dengan mengirimkan surat edaran kepada para pemegang ijin usaha di sektor kehutanan dan perkebunan, bukan pula kegiatan kampanye dengan pemasangan spanduk dan sosialisasi tatap muka yang diadakan di desa dan kecamatan. Namun sebuah tindakan pencegahan karhutla yang efektif, langsung di lapangan melakukan aksi. Mengulang pola pencegahan Karhutla seperti dalam situasi normal tentu tidak efektif apalagi dalam situasi tertekan seperti ini. dimana setiap desa saat ini sudah mengikuti anjuran pemerintah untuk membatasi kegiatan kumpul-kumpul untuk pencegahan pandemi covid-19. Bahkan ada beberapa desa yang sudah melakukan pelarangan orang luar masuk ke desanya.
Jika ingin serius menangani karhutla di tahun 2020 melalui pendekatan pencegahan maka perlu tindakan ekstra dan dilakukan sejak dini. Momen kewaspadaan masyarakat terhadap penyebaran virus SARS-Coronavirus-2 dan modal sosial yang mulai terbangun dapat diberdayakan untuk melakukan pencegahan karhutla. Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat misal:
- Membangun narasi bahwa kejadian kebakaran hutan dan lahan adalah musuh bersama yang akan membahayakan kesehatan semua pihak karena asap dari kebakaran akan meningkatkan resiko kematian akibat terkena inpeksi saluran pernapasan bagi orang-orang yang telah terpapar virus SARS-Corovirus-2.
- Memanfaatkan momen kebersamaan atau jiwa gotong royong dalam pencegahan pandemi covid-19 yang sudah terbangun di tingkat desa untuk melakukan pencegahan kebakaran dengan membuat tabat, penampungan air, sekat bakar, dan bahkan mulai berkampanye dari rumah ke rumah mengenai bahaya karhutla baik terhadap kesehatan maupun kerugian ekonomi
- Pemerintah pusat dapat memberikan intruksi kepada provinsi, kabupaten, kecamatan, desa untuk membuat pos-pos siaga kebakaran dengan memanfaatkan pos-pos pencegahan pandemi covid-19 yang telah ada. Melakukan pendataan kepada orang orang yang keluar masuk hutan dan lahan, sekalipun pergi ke lahan milik ya sendiri. Melakukan penindakan tegas bagi yang terbukti membakar lahan mengingat dapat menyebabkan meningkatnya resiko kematian dan kerugian ekonomi yang luar biasa.
Pertanyaannya, apakah kita mau mengambil tindakan di atas? Tentu ini berpulang kembali kepada pemerintah dan juga kita semua. Dalam situasi krisis, warga negara, tanpa lagi diperintah, akan dengan segera mengikuti para pemimpin yang dapat menunjukan dan menyediakan jalan bagi kepentingan orang banyak dan bangsa. DNA itu sudah ada di batang tubuh rakyat Indonesia.
Penulis
Taryono Darusman
Ketua Pengurus Yayasan Puter Indonesia